Inkulturasi dalam Pembelajaran IPA
IPA adalah bidang ilmu yang mengkaji alam secara sistematis melalui metode-metode ilmiah, bertujuan memberikan pemahaman kepada manusia mengenai bagaimana alam eksis dan bekerja (termasuk dirinya sendiri sebagai bagian dari alam). Melalui pemahaman tersebut manusia dapat melakukan prediksi dan manipulasi sehingga bermanfaat bagi kehidupan mereka. Mengajarkan IPA di sekolah berkaitan erat dengan bagaimana cara kerja dan cara berpikir para saintis. Tanpa hal tersebut, maka yang didapatkan siswa bukan IPA secara utuh sebagai ilmu melainkan hanya pengetahuan saja.
IPA dan juga ilmu-ilmu yang lain selama ini dianggap sebagai sesuatu yang dapat dipelajari dimanapun dengan cara yang sama dan menghasilkan cara berpikir, bersikap dan dampak yang juga sama dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidaklah demikian, berdasarkan kajian para ahli, IPA merupakan produk kultur (budaya) masyarakat tertentu sehingga memiliki karakter atau nilai-nilai budaya tersebut. Dengan demikian jika diajarkan secara langsung tanpa proses penyesuaian maka akan memunculkan dampak-dampak negatif.
Cobern dan Aikenhead (1997) menjelaskan bahwa IPA dalam perjalanan sejarahnya sangat dominan Barat sehingga dapat dianggap sebagai subkultur dari kultur barat. Kita di kawasan dunia timur memiliki kultur yang berbeda. Jika IPA diajarkan secara langsung tanpa adaptasi dengan kultur masyarakat setempat akan terjadi proses asimilasi yaitu pebentukan kultur baru pada diri siswa. Secara sederhana pikiran dan sikap mereka menjadi cenderung terbaratkan dan kurang menghargai kultur mereka sendiri. Selain itu siswa juga akan lebih mengenal fenomena alam negara-negara barat daripada fenomena alam sendiri. Sebagai contoh, sering kita melihat bagaimana buku teks dalam IPA menyajikan contoh-contoh ekosistem atau keanekaragaman makhluk hidup yang dihasilkan dari penelitian di Eropa sehingga siswa mengenal betul bagaimana hidup dari beruang kutub, ikan salmon atau pinguin. Tapi mereka tidak mengenali bagaimana kehidupan mahkluk-makhluk hidup di daerahnya sendiri.
Belajar IPA dengan cara seperti itu tentu tidak akan menghasilkan perkembangan bagi masyarakat dan lingkungan dimana siswa berada. Siswa akan terasingkan dari masyarakatnya sendiri. Itulah tampaknya yang menjadi salah satu penyebab mengapa ilmu pengetahuan kurang dapat mendongkrak kualitas hidup bermasyarakat kita.
Cobern dan Aikenhead (1997) menyarankan agar pembelajaran IPA seharusnya diberikan melalui penyesuaian dengan kultur masyarakat dimana siswa berada. Penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan baik melalui penyesuaian materi, membandingkan konsep asal dengan konteks kultur siswa, memberi peluang kepada siswa untuk memikirkan atau menghaji fenomena alam dari perspektif yang berbeda, mengikutsertakan nilai-nilai kultural yang dimiliki siswa ke dalam pembelajaran dan lain sebagainya. Proses seperti ini disebut dengan proses inkulturasi, dimana kultur asal dari IPA tidak akan menghilangkan kultur yang dimiliki oleh para siswa, tetapi terjadi proses penyesuaian.
Hal ini masih jarang dilakukan oleh guru-guru ataupun para pengembang pendidikan IPA di negara kita. Karena itu menjadi tantangan bagi para praktisi pendidikan IPA untuk melakukannya.
Referensi:
Cobern, W.W., Aikenhead, G., & Cobern, B. (1997). Cultural Aspects of Learning Science. In Scientific Literacy and Cultural Studies Project. Paper 13.
Cobern, W.W., Aikenhead, G., & Cobern, B. (1997). Cultural Aspects of Learning Science. In Scientific Literacy and Cultural Studies Project. Paper 13.