Pendidikan Indonesia setelah otonomi daerah; Antara kepentingan politik dan tujuan pendidikan nasional atau otonomi sekolah dan pejabat daerah

Otonomi daerah lahir bersamaan dengan pelaksanaan demokrasi secara langsung, otonomi daerah merupakan jawaban atas keterlambatan pembangunan di daerah, otonomi daerah merupakan solusi atas semua permasalahan pemerintahan yang bersifat sentralisasi, diharapkan pembangunan di daerah menjadi maksimal tetapi tetap mempertahankan kearifan lokal sebagai dasar dan nilai kepribadian bangsa.

Pendidikan sebagai salah satu faktor penting pembangunan, pengelolaannya diserahkan kepada daerah sebagai bagian dari semangat pelaksanaan otonomi daerah dengan tujuan agar nilai-nilai kearifan lokal dapat tereksploitasi secara maksimal dan mandiri. Dengan demikian, pemerintah daerah bertanggung jawab penuh atas peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, peningkatan standar sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan, serta berbagai kebijakan dan regulasi terkait pendidikan yang bersifat kedaerahan. Praktis hanya kurikulum pendidikan yang tetap dipertahankan dan dikelola oleh pemerintah pusat, selebihnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah.

Beberapa daerah mampu menciptakan perubahan di dunia pendidikan, perubahan dimaksud adalah terjadinya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan pengelolaan dan manajemen pendidikan, peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga pendidikan, dan lain sebagainya. Namun sebagian daerah justru mengalami penurunan kualitas pendidikan sebagai akibat dari politisasi dunia pendidikan. 

Sebutlah pengangkatan kepala sekolah, kepala sekolah tidak lagi mempertimbangkan kemampuan manajerial, kompetensi dan syarat-syarat sebagai sebagai kepala sekolah. Kepala sekolah kini diangkat berdasarkan pertimbangan politik, demikian pula halnya dengan tenaga pendidik dan kependidikan, akibatnya terjadi kesenjangan di satuan pendidikan. Ada sekolah yang mengalami kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu, sementara disekolah lain justru kekurangan pada mata pelajaran tersebut. Ada sekolah yang membutuhkan sarana dan prasarana belajar, disisi lain ada sekolah yang kelebihan sarana dan prasarana belajarnya, hal ini terjadi karena program peningkatan sarana dan prasarana termasuk program lainnya di dunia pendidikan tidak melalui perencanaan yang mempertimbangkan aspek kebutuhan dan prioritas sebagai dampak dari politisasi dunia pendidikan di daerah.

Begitu besarnya pengaruh politisasi dunia pendidikan di daerah, mengakibatkan program-program yang terkait dengan dunia pendidikan seakan tidak mampu dilaksanakan. Hampir semua daerah, pembangunannya berorientasi pada fisik dan melupakan pembangunan SDMnya. Bentuk-bentuk pelatihan bagi tenaga pendidik dan kependidikan mengalami penurunan, yang sering dilaksanakan hanyalah KKG/MGMP, sedangkan pelatihan lainnya tenggelam oleh hegemoni politik di daerah.

Mencermati kondisi pendidikan saat ini, dunia pendidikan membutuhkan program penyelamatan, pemerintah pusat harus lebih intens menekan pemerintah daerah untuk memperhatikan pembangunan dunia pendidikan khususnya pembangunan SDMnya. Jika perlu, dunia pendidikan dikembalikan pengelolaannya kepada pemerintah pusat agar pengaruh-pengaruh negatif sebagai dampak dari demokrasi dan politik di daerah dapat diminimalkan. Sangat sulit bagi pemerintah daerah melakukan evaluasi dan pengawasan secara obyektif kepada tenaga pendidik dan kependidikan terutama yang terlibat dan yang berjasa pada saat pilkada. Penegakkan aturan hanya simbol semata, karena kepentingan mampu mengubur tujuan pendidikan yang sebenarnya. 

Semua unsur di satuan pendidikan harus dikembalikan ke kondisi pendidikan yang sebenarnya, betapa indahnya tenaga pendidik dan kependidikan masa sebelum otonomi daerah. Dalam melaksanakan tugasnya tidak terpengaruh oleh proses politik dan demokrasi, setiap satuan pendidikan menjadi tempat yang menyenangkan dan membahagiakan karena tidak ada faktor eksternal yang mengganggu independensi tenaga pendidik dan kependidikan. Riak-riak politik tidak mempengaruhi proses pendidikan di satuan pendidikan, semua itu terjadi karena tidak ada hubungan antara dunia pendidikan dengan proses demokrasi dan politik. Bandingkan dengan sekarang, pasca pelaksanaan pilkada, pergeseran kepala sekolah selalu terjadi, beberapa guru dipindahkan sebagai bentuk sanksi akibat berbeda arah politik dan lain sebagainya.

Dalam melakukan pembinaan kepada anak didik, guru selalu diperhadapkan kepada kepentingan dari para pejabat daerah. Nota dari para pejabat mampu merubah otonomi dan kemandirian sekolah dalam melaksanakan program kegiatannya, guru sangat tertekan dan terbebani sehingga untuk menciptakan keadilan dan kesamaan kesempatan kepada semua anak didik tidak mampu direalisasikan.

Jika kondisi ini terus terjadi, maka dapat dipastikan bahwa dunia pendidikan di Indonesia akan mengalami degradasi paradigma berpikir, mutu dan kualitas pendidikan akan terus tergerus oleh kepentingan, tenaga pendidik dan kependidikan akan mengalami frustrasi, secara khusus dampaknya adalah terjadi kesenjangan kompetensi anak didik, sedangkan secara umumnya dunia pendidikan di Indonesia mengalami penurunan kualitas generasi penerus bangsa.

Tindakan cepat pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah bangsa ini sangat ditunggu. Demi masa depan bangsa ini, pemerintah pusat harus mengambil alih pengelolaan dunia pendidikan agar pengaruh demokrasi dan politik didaerah tidak berimbas pada proses palaksanaan pendidikan di satuan pendidikan.