Keindahan Manusia

Oleh: Ki Hadjar Dewantara

Manusia adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang telah melalui batas kecerdasan yang tertentu, hingga menunjukkan keadaan yang tegas dengan jiwa yang dipunyai hewan. Jiwa hewan yang berisikan nafsu-nafsu kodrati, dorongan dan keinginan, insting dan kekuatan lain yang semuanya itu tak cukup berkuasa untuk menentang kekuatan-kekuatan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam jiwanya. Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang masih sangat sederhana, misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya.

Sebaliknya jiwa manusia merupakan diferensiasi dari kekuatan-kekuatan, yang terkenal dengan sebutan 'trisakti.' Ketiga kekuatan yang dimaksud adalah pikiran, rasa dan kemauan, atau cipta-rasa-karsa. Tri sakti itulah yang disebut budi.

Budi manusia tidak saja berkuasa untuk memasukkan segala isi alam yang ada di luar dirinya ke dalam jiwa dengan perantaraan panca indera. Namun, budi manusia juga berkuasa untuk 'mengolah' atau 'memasak' segala isi alam yang memasuki jiwanya sehingga menjadi buah. Sementara buah budi manusia itu disebut kebudayaan.

Pikiran mempunyai tugas memisah-misahkan bagian-bagian suatu hal, barang atau keadaan, serta membanding-bandingkan yang satu dengan yang lain (menganalisis) dan akhirnya menetapkan benar atau tidak benarnya sesuatu. Rasa adalah gerak-gerik jiwa yang biasanya timbul karena kekuatannya sendiri dan berlaku sebelum orang menghendakinya dengan sengaja. Adapun tugasnya ialah menetapkan baik atau buruknya sesuatu. Kemauan yaitu keinginan yang sudah tetap dan pasti, sudah dipikir-pikirkan hanya tinggal melaksanakannya saja.

Tiap-tiap manusia mempunyai sifat budi masing-masing, sifat yang tetap dan pasti, dan disebut watak (cap atau cliche). Dalam bahasa kita dipakai perbuatan budi pekerti dan ini lebih tegas karena pekerti berarti tenaga. Jadi, budi pekerti berarti sifat dari budinya (batin) sampai pekertinya (lahir).

Sifat jiwa manusia itu berisikan beberapa corak warna yang menurut penelitian filsafat dapat digolongkan menjadi dua pokok, yaitu sifat etika dan sifat estetika, yang masing-masing berarti baik dan indah. Dalam bahasa kita, biasanya digunakan kata luhur dan halus, dengan maksud sama, yaitu menjelaskan bahwa budi pekerti manusia itu mengingini serta menghendaki segala apa yang baik atau luhur dan yang indah atau halus.

Terjemaham kata baik dan indah yang berganti menjadi luhur dan halus, menunjukkan corak yang khusus dalam jiwa bangsa kita dan merupakan hasil perbandingan antara jiwa manusia dan jiwa hewan sehingga pengertian ini menjadi lebih jelas. Etika atau etik dapat berarti pula ilmu pengetahuan tentang kebaikan (dan segala kebalikannya) dalam hidup manusia secara umum, terutama yang berhubungan dengan gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang merupakan perbuatan.

Begitu pula estetika yang dapat berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mengajarkan segala keindahan. Pada mulanya estetika itu berarti pengetahuan tentang memasukkan pandangan luar ke dalam jiwa. Oleh Kant, estetika dijelaskan sebagai ilmu yang menertibkan bekerjanya panca indera dalam hubungannya dengan alam dan zaman (transzendentale aesthetik), sedangkan etik disebut transzendentale logik. Oleh karena itu Baumgarten menggunakan penjelasa: Ilmu tentang kesempurnaan pandangan panca indera untuk estetika. Dengan demikian disini terbukti adanya hubungan antara logika dengan etika dan estetika.

Jonas Cohn, Lipps dan Schiller mengartikan estetika sebagai ilmu keindahan dan kesenian. Dengan demikian, pengertian estetika menjadi luas, sebab kesenian hanya keindahan yang dibuat oleh manusia sedangkan keindahan itu terdapat di seluruh alam.

Apakah gerangan yang menyebabkan adanya hubungan yang erat antara etik dan estetik itu, atau dalam hal apakah adanya kesamaan dan perbedaan antara keduanya? Ternyata ketertiban (orde) itulah yang menjadi dasar bagi kedua sifat tersebut. Ketertiban lahir mengenai etik terpandang dengan pikirsara (logika), sedangkan mengenai estetik terpandang dengan panca indera.

Sifat budi manusia, baik dalam pandangannya terhadap soal-soal etik maupun estetik, biasanya menunjukkan kesamaan atau yang paling sedikit kesesuaian antara keduanya dalam cara menghargai (normatif).

Di dalam usaha pendidikan, dibenarkan hasil penelitian Maria Montessori dengan segala eksperimennya, yangmenetapkan saling berpengaruhnya latihan-latihan jasmanindan perkembangan pikiran, rasa dan kemauan, termasuk latihan-latihan olahraga. Rudolf Steiner dengan latihan-latihan keseniannya dan eksperimennya, juga mempunyai pendapat yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada lapangan kajiannya: Montessori pada fisio-psikologi sedangkan Steiner pada aestetik-etik.

Ketertiban lahir yang disebut estetik mempunyai tiga syarat, yaitu harmoni, beraneka dan lengkap. Dalam usahanya, maka estetik itu bertujuan untuk mendekatkan manusia, baik kepada segala sifat keindahan yang berupa usaha kesenian dalam arti yang seluas-luasnya, maupun mendekatkan hidup manusia dengan dengan segala sifat indah, yang tampak di alam semesta, manuju kepada perkembangan budi pekerti menurut syarat-syarat etik dari kodrat ke adab.

Perkembangan budi pekerti yang berlaku dari kodrat ke adab menuntut adanya hubungan rapat antara individu dengan lingkungan kodrat alam serta masyarakatnya. Hal ini seperti yang dimaksudkan oleh teori modern yang disebut heimat-prinsip. Perkembangan itu harus berlaku secara terus-meneris dengan alamnya sendiri, konvergen dengan lam luarnya, untuk menuju ke arah persatuan konsentris yang universal, yaitu bersatu dengan alam besar, namun tetap memiliki kepribadian sendiri.

Untuk pembangunan pada kajian keindahan harus diusahakan adanya pembangunan kebudayaan pada umumnya, terutama dalam arti pembaruan kebudayaan dengan mengingat tuntutan alam dan zaman baru. Oleh karenanya, hendaknya kebudayaan lama disaring seperlunya. Kebudayaan yang bertentangan dengan zaman dan atau tidak bermanfaat lagi harus dihapuskan, diberhentikan atau dibekukan, sedangkan yang masih berguna diperbaiki. Jangan lupa memasukkan bahan baru, baik dari dunia luar maupun hidup baru sendiri, asalkan dapat memperkayanya.

Agar pembaharuan tersebut benar-benar menguntungkan, maka pemeliharaan kebudayaan itu tidak saja dilakukan di dalam kalangan masyarakat, tetapi juga di lingkungan pendidikan dan pengajaran. Artinya, mulai pada alam anak-anak sampai alam para pelajar dan sekolah-sekolah yang tertinggi. Barang tentu dengan cara-cara yang sesuai dengan segala keadaan dan kenyataan yang ada dalam lingkungan masing-masing tersebut.

Dalam menyesuaikan alam dan zaman baru tersebut harus juga diingat adanya hasrat atau semangat dari keturunan atau angkatan baru kita untuk meniru pelbagai tradisi-tradisi baru yang berasal dari kehidupan bangsa-bangsa barat. Di antara tradisi-tradisi tersebut tentunya ada yang tidak sesuai atau bertentangan dengan rasa etik. Perlu diselidiki pula apa yang menyebabkan adanya keinginan meniru itu. Lalu dapatkan kita, bila perlu, menciptakan tradisi-tradisi baru yang dapat memenuhi keinginan-keinginan tadi, dan dalam bentuknya sesuai dengan kebudayaan kita sendiri. Jadi, perlu mengganti apa yang dibuang. Dengan begitu maka tidak usah kita meniru, tetapi kita mencipta adat baru, dari ciptaan sendiri secara itu pasti akan lebih bermanfaat dari pada adat tiruan.



Sumber Tulisan:
Dewantara, Ki Hadjar. 2009. Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika